"The Northman (2022)" Review dan Analisis (Spoiler!): Bukan Hamlet, Tapi Amleth!
Mitologi
milik masyarakat Nordik tentu adalah budaya yang sering kali mendapatkan
adaptasi ke dalam pop culture. Cukup
banyak film-film atau game yang terinspirasi dari mitologi Nordik, seperti seri
God of War yang saat ini mengambil tempat di Midgard tempat para dewa-dewi
Nordik bersemayam, lalu ada juga Studio Marvel yang lewat film-film
superheronya mempopulerkan karakter mitologi seperti Thor, Odin, Hella, dan
Loki. Tahun 2022, kita kedatangan The Northman, film Viking yang
digadang-gadang sebagai film yang menginspirasi William Shakespeare untuk
menulis Hamlet. Disutradarai oleh Robert
Eggers, seseorang yang cukup ahli ketika membuat film horor dengan nuansa folklore yang muram, seperti The Witch
(2015), dan The Lighthouse (2019). Kali ini Eggers tidak sendiri, ia mengaet
Sjon sebagai salah satu penulis script
The Northman, Sjon sendiri adalah seorang novelis, dan penyair yang dikenalkan
oleh Björk saat Eggers melakukan
perjalanannya ke Islandia untuk mengumpulkan referensi The Northman, dan Sjon
sendiri pernah menjadi co-writer di
salah satu film produksi A24 berjudul “Lamb (2021)”.
Alexander SkarsgÃ¥rd (‘Godzilla vs. Kong
(2021)’, ‘The Legend of Tarzan (2016)’, ‘Melancholia (2011)’) aktor yang
berasal dari keluarga nyentrik (Skarsgård) kali ini menjadi pemeran utama untuk
tokoh Amleth. Selain itu 2 orang aktor/aktris yang dulu sempat bermain di film
Robert Eggers sebelumnya, yaitu Willem
Dafoe (‘The Lighthouse (2019)’) memerankan Heimir, dan Anya Taylor-Joy (‘The WITCH (2015)’) sebagai Olga. Nama-nama yang
mungkin tidak asing bagi anda juga hadir disini, diantaranya Ethan Hawke, Nicole Kidman, Claes Bang,
Gustav Lindh, dan kembalinya
penyanyi Björk ke dunia akting
setelah absen lebih dari 20 tahun.
Robert
Eggers juga kembali menggaet cinematographer
Jarin Blaschke yang dulu juga pernah
menangani 2 film Eggers sebelumnya. Untuk musik Eggers menyerahkannya kepada
Robin Carolan, dan Sebastian Gainsborough. Melalui trailernya kita disuguhkan aksi,
drama, dan nuansa horor suram ala Eggers dengan bumbu budaya folklore Nordik yang sangat kental.
Seperti apasih filmnya? Yuk, Simak Reviewnya!
SINOPSIS
(Dari Kiri) Amleth, Aurvandill, dan Gudrun - Focus Features |
Amleth merupakan putra mahkota dari salah satu kerajaan Skandinavia jauh di utara samudra atlantik, Ayahnya Aurvandill adalah seorang raja yang dijuluki War-Raven yang berkuasa atas kerajaan bernama Hrafnsey, dan Ibunya, Ratu Gudrún, adalah seorang wanita berparas cantik nan anggun. Sang ayah pulang dari invasinya terhadap kerajaan lain, membawa jarahan, budak, dan kemenangan untuk kerajaan kecilnya, namun ia juga membawa luka yang membuat dirinya merasa bahwa waktunya tidak akan lama lagi. Tidak menghabiskan waktu lama raja Aurvandill mengajak putranya, Amleth, yang sudah menginjak usia 10 tahun tersebut untuk mengikuti sebuah ritual turun temurun, sang ibu, Gudrún, sempat keberatan karena menilai Amleth masih terlalu muda, namun mengijinkannya ketika dijelaskan oleh Aurvandill hal ini guna mempersiapkan Amleth sebagai putra mahkota yang sah untuk mewarisi kerajaannya ketika ia wafat nanti.
Fjolnir (Kiri) dan Aurvandill (Kanan) - Focus Features |
Heimir, seorang jester/pelawak dan orang kepercayaan dari Aurvandill memimpin ritual antara bapak dan anak, untuk memvalidkan klaim tahta Amleth terhadap Aurvandill. Setelah melakukan ritual tersebut, takdir berkata lain kepada Amleth, paman angkatnya, Fjölnir, mengkudeta sang ayah dengan membawa pasukannya untuk membelot.
Amleth Kabur Ke Lautan - Focus Features |
Amleth yang berhasil kabur menyaksikan ayahnya dipenggal, kerajaannya dirampas, dan sang ibu direnggut oleh Fjölnir. Diatas perahu kecilnya ia menyebrangi lautan yang juga bergejolak seperti hatinya, disana ia bersumpah untuk membalaskan dendam ayahnya, menyelamatkan ibunya, dan membunuh Fjölnir.
I AM VENGEANCE!
The Northman merupakan film yang fokus utama ceritanya memperlihatkan bagaimana proses dari Amleth untuk membalaskan dendam kesumatnya terhadap paman angkatnya sendiri, Fjölnir. Sebelum membahas plotnya lebih jauh, kita harus tahu lebih dahulu sumber referensi apa yang menginspirasi dari film The Northman, yang menurut saya cukup menarik untuk dibahas. Film ini mengambil kisah Amleth, legenda lokal dari Skandinavia yang menjadi salah satu cerita yang muncul di Gesta Danorum (Sejarah Danes) sebuah kumpulan tradisi yang disampaikan mulut ke mulut yang kemudian dikumpulkan, dan ditulis ke dalam buku tersebut oleh sejarahwan asal Denmark bernama Saxo Grammaticus. Mengambil tempat dan waktu pada abad 914 Masehi, film ini memperlihatkan awal-awal kependudukan dari Islandia yang juga dikenal sebagai “Landnamsold” yang memiliki arti jaman pengambilan tanah/wilayah, dan mulai masuknya ajaran Nasrani ke dalam wilayah tersebut, meski begitu unsur paganisme dan kepercayaan kuno dari orang-orang Viking pada era tersebut jauh lebih menonjol disini.
Amleth Dewasa - Focus Features |
The Northman dengan segala sumber referensi dan secara konsep sebenarnya memiliki potensi untuk dibuat sebagai film flick dengan aksi peperangan sekala besar yang seru, karena mengapa tidak? Kita punya pangeran dengan segudang tragedi, mulai dari melihat ayahnya yang seorang raja dibunuh, terusir dari kerjaannya, ibunya ditawan. Bermodalkan ambisi, wajah tampan dan tubuh yang diberkati seperti patung-patung Michaelangelo, sang pangeran bertekad untuk menyelamatkan sang ibu, mengambil kembali kerajaannya, dan menemukan cinta sejati dalam perjalanannya, terdengar familiar? Melalui Gesta Danorum ini, William Shakespear, penulis kondang asal Inggris terinspirasi untuk menulis Hamlet, sebuah karya yang menceritakan tentang tragedi pangeran Denmark yang kemudian menjadi sumber inspirasi dari film-film modern yang terkenal, seperti Lion King, dan lagi Hamlet merupakan anagram dari Amleth (HAMLET → AMLETH). Jika arah dari film ini dibuat ke arah mainstream mungkin saya akan mudah untuk skip, yang menjadikan film ini jauh lebih menarik adalah konsep yang dibangun oleh Robert Eggers yang terbiasa menangani film-film folklore bernuansa horor, yang juga menjadikan film The Northman sebagai film dengan nuansa autentik nordik yang mencekam.
Amleth dan Olga - Focus Features |
Prespektif dari The Northman akan fokus terhadap
Amleth, dengan alur yang progresif, dengan kata lain film ini tidak memiliki flashback, dan dalam penyampaian konteks
penonton juga akan ditempatkan terhadap perahu yang sama dengan Amleth, dimana
seiring cerita berjalan kita juga akan menemukan fakta-fakta baru dan tragedi
yang terus bergulir sepanjang filmnya. Untuk menjalankan rencananya Amleth
tidaklah sendirian, ia dibantu oleh Olga, seorang wanita yang turut dijual
sebagai budak bersama dengan Amleth ke kediaman baru pamannya Fjölnir. Keduanya
akan melakukan serangkaian teror mulai dari membunuh orang-orang Fjlonir secara
diam-diam dengan cara yang bengis, hingga meracuni makanan dengan jamur
sehingga mereka yang memakannya berhalusinasi. Dengan bertingkah polos dan
bodoh, keduanya berhasil mengelabui orang-orang yang ada disana bahwa semua
tindakan keji yang mereka lakukan adalah ulah roh jahat yang sedang haus darah.
Thorir (Tengah) Putra Sulung Fjolnir, Melihat Horor akan Karya Seni Amleth - Focus Features |
BERBEDA
Melihat film-film sebelumnya, Robert Eggers, adalah
salah satu sutradara top ketika membuat film-film horor. Meski jarang sekali
menggunakan jumpscare atau
menampakkan “setan”-nya, dirinya bisa membangun atmosfir horor dengan
kejadian-kejadian supernatural yang dialami oleh karakter utamanya. Hanya saja
kali ini Robert melakukan pendekatan yang berbeda, coba bayangkan anda melihat
film slasher seperti The Scream namun
prespektif dari pembunuhnya merupakan sudut pandang utama ceritanya, kita tahu
bagaimana ia bersembunyi dan meneror korban-korbannya. Pendekatan tersebut
diterapkan kepada Amleth, dimana ia ditegaskan dalam ceritanya akan menjadi si
“setan” yang bertanggung jawab atas kejadian-kejadian janggal yang dialami oleh
paman dan orang-orang yang tinggal bersamanya, yang tentunya dibantu juga oleh
komplotannya, Olga. Filmnya juga memiliki plot
twist meski bukan dijadikan senjata utama dalam plot ceritanya, anda bisa
menebak akhir dari cerita Amleth itu sendiri jika anda memperhatikan
ramalan-ramalah atau petuah yang Amleth dapat sepanjang filmnya.
BJÖRK, Sebagai Cenayang / Seeres - Focus Features |
Robert Eggers yang biasanya selalu menjadikan kesan mistis
sebagai hal yang selalu ia tinggalkan untuk tetap menjadi sebuah estetika misteri,
kali ini ia mengambil batas realita dan meleburnya terhadap beberapa adegan
mistis dalam filmnya sebagai sebuah perbandingan antara kejadian supernatural
dengan kenyataan. Seperti diantaranya cairan yang diminum oleh Amleth dan
bapaknya mungkin sudah di campur dengan cairan LSD atau semacamnya hingga
melihat pengelihatan yang cukup ekstrem, pertarungan Amleth dengan semacam
makhluk bernama draugr yang mungkin
hanya terjadi dalam kepalanya saja, atau dirinya yang setengah halu dimana
melihat Olga sebagai Odin dan Valkyrie yang datang untuk menyelamatkannya. Namun
untuk digaris bawahi, bahwa tidak semua adegan mistis tersebut bisa memiliki
relevansi dengan kondisi kenyataan, diantaranya adalah seperti peramal yang
memberitahu akan nasib Amleth dimasa depan yang kemudian menjadi kenyataan pada
akhir filmnya, atau pedangnya Draugr yang hanya bisa dilepaskan pada malam hari
saja.
Draugr - Focus Features |
Meski begitu, semua adegan supernatural ini dirancang dengan sequence yang begitu apik, menawan, dan juga bikin bulu kudu bergidik, seperti salah satunya Amleth memegang jeroan bapaknya ketika melakukan ritual, dua orang yang dimutilasi dan disalibkan ke tembok yang kemudian dibingkai menyerupai kuda Odin, Gleipnir, atau pendeta pagan yang dibunuh secara brutal di altarnya sendiri oleh Amleth, namun diantara itu semua mungkin yang paling membekas ada pada adegan dimana anak-anak kecil dan bayi-bayi dikumpulkan dalam satu rumah dan dibakar hidup-hidup. Selain itu pertarungan antara 2 orang ditengah-tengah gunung vulkanik yang sangat aktif merupakan salah satu sinematik terbaik di sepanjang film-film yang keluar ditahun 2022. Ditambah musik yang dibuat oleh Robin Carolan, dan Sebastian Gainsborough menambah unsur tegang dalam filmnya, terutama dengan melibatkan throat singer ke dalamnya, saya juga tidak bisa melupakan betapa epic-nya musik ala viking saat adegan berkendara dengan Valkyrie.
Pertarungan Di Tengah Gunung Vulkanik - Focus Features |
Untuk
pertama kalinya, ini adalah film Robert Eggers yang memiliki aksi lebih berat
ketimbang 2 film sebelumnya. Pertarungan yang ada dalam The Northman terhitung
tidak lebay dalam koreografinya, dan pengambilan gambarnya pun lebih
menggunakan fixed camera dengan medium shot dimana latar belakang juga dilibatkan dalam pengambilan
frame-nya. Salah satu bagian aksi
yang paling mengesankan dalam filmnya adalah pada bagian penyerangan desa saat
amleth dikenal sebagai Bear-wolf dimana salah satu scene yang sempat populer di internet adalah ketika Amleth
menangkap tombak dan melemparkannya balik. Sequence dari penyerangan desa ini
hampir 90%nya one-shot tapi entah kenapa
terdapat cut ketika Amleth melompat dari atas gerbang untuk menyerang musuhnya
dari atas, besar kemungkinan karena resiko cidera dan harus dilakukan oleh stunt-man, padahal jika diteruskan adegan
ini bisa lebih sempurna.
Focus Features |
Focus Features |
Focus Features |
Focus Features |
Untuk
sinematografinya itu sendiri Jerin Blaschke, banyak menggunakan wide shot dan close-up untuk pengambilan gambarnya. Anda bisa melihat berbagai landscape alam seperti gunung berapi,
lautan, sungai, pemukiman dengan sangat menawan, atau pengambilan gambar yang
cukup spesifik seperti menunjukkan gerbang Valholl/Valhalla yang dibalut dengan
konstalasi bintang dilangit dengan sangat mengagungkan. Anda bahkan bisa
menggunakan salah satu tangkapan layar wide
shot di film ini untuk dijadikan wallpaper
komputer anda. Biar kebanyakan scene-nya
yang berlatar belakang gelap karena minimnya cahaya matahari, namun anda tidak
dibiarkan dengan kegelapan total seperti salah satu episode Game of Thrones.
Cahaya yang disediakan terasa pas untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi,
memanfaatkan cahaya rembulan yang kontras dengan warna kebiruan muda yang
ringan, langit yang mendung pasca masuk musim dingin, atau sumber pencahayaan
dari api yang menyulut merah memanfaatkan bayangan untuk menambah kesan
emosional dan suspense yang ada.
The Folks
Amleth, Sang Bear-wolf - Focus Features |
Dalam filmnya, Amleth tumbuh menjadi seorang berserker dengan mengadopsi nama Bjornulfr, berserker itu sendiri adalah pasukan yang ditakuti karena kebrutalannya saat di medan perang, mereka akan melakukan ritual untuk melepaskan “daging” (yang di alegorikan sebagai kemanusiaan/hati nurani) dan seutuhnya menjadi binatang buas.
Amleth, sang Berserker - Focus Features |
Amleth dijuluki sebagai “Bear Wolf” oleh para kolega dan musuh-musuhnya, dikarenakan Amleth yang dikenal berdarah dingin namun perkasa layaknya seekor beruang. Alexander SkarsgÃ¥rd disini akhirnya memiliki peran yang cukup bersinar, dimana peran di film sebelumnya jauh lebih terlihat pasif jika dibandingkan perannya sebagai Amleth. Selain berhasil merubah tubuhnya hingga mencapai bentuk yang ideal selama 6 hari seminggu dalam rentang waktu hingga 6 bulan, Alexander berhasil membawakan karakter Amleth dengan memperlihatkan ekspresi tatapan dinginnya, matanya yang penuh amarah, dan suaranya yang penuh dengan dendam berhasil dieksekusi dengan penuh kharisma.
Nicole Kidman sebagai Gudrun - Focus Features |
Gudrun,
merupakan karakter ke-2 yang cukup mencuri perhatian saya disini, karena
terdapat kejutan yang saya dapat dalam karakternya yang tidak saya duga. Nicole
Kidman berhasil membawakan karakternya sebagai ratu yang anggun, cantik,
beraura kuat meski dalam segi ekonomi yang pas-pasan, namun dibalik karakternya
yang terlihat proudful hanya sebuah
topeng untuk menutupi wataknya yang culas dan keji. Filmnya memberikan plot twist dalam karakternya yang tadinya
seolah seperti damsel in distress
menjadi b*tches in dress. Gudrun merupakan karakter yang menyampaikan pesan bahwa
kalau udah sayang bisa bikin bodoh, Amleth yang selalu mengira keluarganya
harmonis dan ibunya sayang kepada dirinya, ternyata memiliki kenyataan yang
terbalik saat ia mengkonfrontasi kebenarannya.
Anya Taylor Joy, sebagai Olga - Focus Features |
Williem
Dafoe memiliki peran yang lebih singkat disini, namun jika soal karakter yang
terlihat seperti seorang maniak dan tidak memiliki mental yang stabil adalah
hal yang tidak perlu diragukan lagi, dia adalah pilihan yang tepat, hal ini
diperlihatkan kembali ketika memerankan perannya sebagai Heimir seorang badut
kerajaan dan sahabat dekat dari Aurvandil. Olga merupakan wanita yang
dipertemukan pertama kali dengan Amleth diatas kapal untuk dijual sebagai salah
satu budak, diperankan oleh Anya-Taylor Joy karakternya merupakan wanita kuat cukup
ahli soal tanaman herbal dan cukup galak untuk para penindasnya, suatu hal yang
diperlihatkan dengan baik oleh Anya disini. Selain itu Anya sebagai Olga bisa
dengan mudah mencuri perhatian penontonnya disini, karena selain parasnya yang
cantik dengan rambut pirangnya yang bisa membuat mata anda terpaku, Olga
bukanlah karakter yang membosankan, selain pemberani dan pintar, karater Olga
melengkapi Amleth untuk menjadi seorang pria dan belajar merasakan cinta untuk
pertama kalinya, dan tanpa Olga, Amleth memenuhi takdirnya hingga akhir film.
Let it All Burn! - Focus Features |
Telltale
a Traditional Tale
Robert Eggers mengukuhkan namanya sebagai sutradara
yang mampu mengusung cerita-cerita rakyat atau folklore menjadi sebuah film dengan kesan originalitas dan autentik
yang tinggi. Bagi anda yang awam dari film-film Robert, dirinya merupakan
sutradara yang menjadikan sebuah adegan 100% berdasarkan referensi yang ia ambil
dengan sedikit bentuk penyesuaian. Seperti script
dari film The Witch yang menggunakan
dialog dari catatan-catatan lama, atau sebuah adegan dari The Lighthouse yang diambil dari lukisan berjudul “Hypnosis” tahun 1904 karya seorang pelukis
Jerman, Sascha Schneider. Untuk mengentalkan kesan autentik dari film ini
sendiri, Robert bahkan bekerja sama dengan para sejarahwan untuk melakukan
riset dan berkonsultasi atas ceritanya untuk menyesuaikan sets film, kostum, dan semua properti yang ada dalam filmnya seasli
mungkin.
Valkyrie - Focus Features |
Man-Witch - Focus Features |
Ritual Berserker - Focus Features |
Melalui The
Northman anda dibuat untuk mengenal lebih jauh budaya Viking, seperti Runes
tentunya, berbagai dongeng-dongeng epik dari benua Eropa sana yang ikut disematkan,
tidak ketinggalan kepercayaan Norse
seperti Odin, ataupun Valkyrie yang juga turut hadir sebagai bentuk referensi
dalam plot-nya, dan yang paling
penting buat saya adalah tidak ada perubahan dari etnis tertentu agar filmnya
terlihat “beragam”. Referensi tersebut akan langsung disajikan kepada anda
sejak awal filmnya, dibuka dengan adegan 2 gagak terbang disaat kepulangan sang
Raja Aurvandil (The Raven King’s), merupakan simbolisme dari Huginn dan Muninn,
dua gagak milik dewa Odin (The Raven God) yang selalu muncul di legenda-legenda
bangsa Normadic. Tidak berhenti disitu bahkan behel yang digunakan oleh Valkyrie disini adalah berdasarkan
jenazah yang ada di salah satu kuburan Viking, serta helm yang memiliki
dekorasi perunggu berbentuk angsa adalah berdasarkan mitologi Nordic dimana
para Valkyrie selalu mengambil wujud
sebagai angsa. Dukun yang menyimpan dan mengawetkan kepala Heimir adalah
berdasarkan dongeng Mimir dan Odin, dimana Odin yang merupakan murid Mimir
menghidupkan kembali kepala kedalam cairan cuka setelah sang guru dipenggal
oleh musuh Odin yang sesama Aesir/Dewa. Berbicara tentang dukun yang satu ini,
mungkin anda akan bertanya-tanya kenapa laki-laki tua gendut satu ini
berpakaian, berdandan, dan mengepang rambutnya seperti wanita? Hal ini karena
pada masuknya jaman besi di Skandinavia, sihir merupakan kegiatan dari
perempuan dan menyebutkan penyihir pria merupakan ejekan atau sebutan untuk
kaum homoseksual, dan berdasarkan legenda Odin, dewa tertinggi di Nordik
menyamar sebagai wanita sehingga ia bisa belajar sihir dari para dewi-dewi.
Amleth Menangkap Tombak - Focus Features |
Adegan Amleth menangkap tombak diambil dari Njals,
sebuah saga epik dari abad pertengahan Islandia antara pahlawan Viking, Gunnar,
melawan Audolf, ditambah jumlah rekannya yang sesama berserker berjumlah 12 orang (pemimpin ritual tidak dihitung) juga
berdasarkan catatan sejarah dari Islandia. Lalu jika anda perhatikan lebih jauh
setelah Amleth berhasil mengalahkan draugr
(makhluk berupa mayat hidup seperti ghoul)
ia meletakkan kepala dari draugr
diantara selangkangannya (draugr),
ini berdasarkan kepercayaan dari Islandia bahwa hal tersebut adalah salah satu
cara untuk mencegah dari draugr untuk
bisa bangkit lagi. Yang terakhir, Harald Fairhair dari Norway adalah orang yang
melengserkan Fjölnir dan yang membuat dirinya terasingkan di daerah terpencil,
dalam sejarah Islandia ia adalah orang yang bertanggung jawab karena mengusir banyak
orang Skandinavia ke tempat-tempat pengasingan di Islandia karena bentuk pemerintahannya
yang tirani. Kebanyakan orang Norwegia akhirnya memeluk agama Nasrani ketika
sejarah itu ditulis, dan beberapa orang memilih untuk menyembah atau membentuk
paganismenya masing-masing seperti Fjölnir yang ditunjukan dalam beberapa adegannya,
seperti pemakaman anak sulungnya yang berdasarkan tulisan abad ke 10 milik penyair
Ahamad Ibn Fadlan mengenai tradisi pemakan orang-orang Norwegia, dimana seorang
perempuan juga akan turut dikorbankan untuk menemani tuannya di alam baka.
First
Big (Budget) Movie
Kali ini Robert Eggers mendapatkan modal lebih yakni 70-90 Juta USD, hampir 9 kali lipat jika dibandingkan modal dari dua film sebelumnya (The Witch, dan The Lighthouse). Oleh sebabnya Robert merubah sedikit intonasi filmnya menjadi lebih lunak, dan tidak terlalu mengusung total misteri layaknya cerita Edgar Allan Poe ataupun H. P. Lovecraft. Robert juga tidak menjadikan filmnya terlalu vulgar, dimana awalnya ia ingin menampilkan para berserkers dengan telanjang bulat, termasuk duel final antara Amleth dan Fjölnir, namun ia urungkan niat tersebut akibat tidak di ijinkan dengan PH-nya karena batasan dari rating film-nya itu sendiri. Dilihat secara performa dibioskop, bisa dibilang film ini adalah flop mengesampingkan review positif dari berbagai situs, namun jumlah yang diperoleh di bioskop tidak balik modal produksi, hal yang sebenarnya dibantah oleh presiden dari PH Focus Features, Kiska Higgs, yang menyatakan bahwa filmnya sudah cukup menguntungkan lewat VOD dan media streaming.
Karena ini adalah film dengan budget besar
pertamanya, The Northman, adalah film Robert Eggers yang tidak memiliki versi ‘final cut’ atau ‘director cut’, sebuah resiko yang Robert mau ambil demi bisa
merealisasikan film ini. Ini dikarenakan oleh beban stress yang cukup berat
untuk Robert Eggers, terutama menurutnya yang paling menguras tenaga ada pada
saat memasuki bagian editing setelah post production untuk memenuhi mandat
dan tuntutan perubahan oleh beberapa studio produksinya. Robert yang pada
akhirnya merasa sangat puas pada hasil akhir The Northman, ia mengaku merasa kapok
untuk menggarap film dengan budget yang besar, meskipun ia merasa tertantang
untuk membuat film dengan budget yang lebih besar lagi, namun jika tidak
memiliki kontrol penuh atas filmnya adalah satu hal yang paling sulit bagi
dirinya untuk kembali. Dari interviewnya di NY Times, Eggers yang biasanya
menerima masukan-masukan ringan dari produser atau investor filmnya, dirinya baru
pertama kali merasakan tekanan hebat dari studio besar seperti New Regency
setelah post production, dikarenakan test audience yang sulit mengerti
filmnya. Mengenai perubahan yang beberapa studio minta selain untuk tidak
menampilkan orang-orang untuk bertelanjang bulat, adalah seperti meminta untuk
dimasukannya title card atau judul
pembuka dibeberapa sequence untuk
memudahkan penontonnya mengikuti alur bagian mana yang ada di plot ceritanya. Biarpun
bukan hal yang biasa Robert lakukan di 2 film sebelumnya, ia mengaku bahwa
tanpa masukan dari studio ia tidak mungkin bisa membuat film dengan versi yang
paling “menghibur versi Robert Eggers”.
Kesimpulan
The Northman adalah memang film yang dikategorikan
sebagai film versi Robert Eggers yang paling menghibur, meski perbedaannya
cukup kontras dengan 2 film sebelumnya, saya rasa ini adalah hal yang positif
untuk menjadi tantangan bagi Eggers untuk membuat film yang bisa mencakup
target audiens yang lebih luas. Melihat film ini meninggalkan kesan yang sangat
autentik, seperti Green Knight, ini adalah salah satu film medieval yang tidak dibuat untuk mencari untung, namun juga ingin
meninggalkan kesan artistik sebagai sebuah film. Saya sangat menikmati film ini
hingga awal sampai akhir, meski secara plot
tidaklah seberat film-film Robert Eggers sebelumnya, saya tidak perlu berpikir
keras untuk mengerti plot ceritanya.
Tidak ada komentar: